Insentif dan Norma Sosial Sebagai Pendorong Peningkatan Produktifitas PNS

 

Mari kita sejenak berandai-andai, bagaimana kondisi Indonesia tanpa Pegawai Negeri Sipil (PNS). Jalanan yang rusak dan berlubang dibiarkan terbengkalai karena tidak ada  pihak yang memperbaiki. Saat malam tiba, kegelapan menyelimuti karena tidak tersedia pasokan listrik untuk menyalakan lampu di rumah-rumah. Banjir menggenangi jalanan dan perumahan, karena tidak ada petugas yang membersihkan saluran air dan sungai yang tersumbat sampah yang menggunung. Pertumbuhan ekonomi terhenti karena fondasi dan infrastruktur bisnis tidak tersedia. Kekacauan di mana-mana tanpa adanya pihak yang mengatur dan mendisiplinkan.

Keberadaan PNS memastikan bahwa terdapat instrumen pelayanan publik yang melayani kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang tidak dapat dipenuhi oleh sektor privat. Pelayanan publik yang baik merupakan fondasi dari perkembangan ekonomi suatu negara. Tanpa pelayanan publik yang prima, mustahil bagi sektor usaha dan bisnis untuk dapat berkembang dengan pesat. Sektor usaha dan bisnis dapat berkreasi dan berproduktif sesuai dengan perannya masing-masing, karena mereka tidak perlu lagi memikirkan hal-hal yang menjadi ranah publik seperti pembuatan dan perbaikan jalan, penyediaan sarana transportasi, penyediaan energi dan air, dan lain sebagainya.

Peran pegawai negeri sipil (PNS) di Indonesia memang menimbulkan kontroversi. Di satu sisi masyarakat muak akan ketidakbecusan aparat pemerintah dalam melakukan tugas-tugasnya. Namun di sisi lain, hampir tidak mungkin pelayanan publik dapat berfungsi tanpa para PNS yang melakukan perannya. Sekilas hubungan publik dengan PNS seperti love-hate relationship, benci tapi cinta juga. Apabila ditelaah lebih mendalam, peran PNS sebetulnya lebih besar daripada anggapan publik selama ini.

Perbaikan sektor pelayanan publik merupakan kebutuhan dan kepentingan tiap pihak, tidak terkecuali sektor usaha dan bisnis. Perbaikan kinerja para “pelayan” publik tersebut harus menjadi perhatian semua pihak. Banyak cara, waktu, tenaga, dan uang yang telah digelontorkan untuk mendorong peningkatan kinerja para pelayan publik ini. Namun hasilnya belum optimal.

Pertanyaannya saat ini adalah, cara apa lagi yang harus diambil untuk meningkatkan kinerja dan produktifitas PNS?

Artikel ini berusaha memberikan gambaran bagaimana penggunaan “insentif” dan “norma sosial” dapat mendorong peningkatan kinerja PNS secara individu maupun secara kolektif sebagai suatu organisasi.

Terdapat dua hipotesis yang mendasari argumentasi pada artikel ini,

  1. (mayoritas) PNS di Indonesia tidak mendapatkan insentif atau apresiasi apabila melaksanakan dan menyelesaikan kerja dengan baik; dan
  2. masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang mengedepankan kolektivitas daripada pencapaian pribadi, sehingga mengikuti aturan dan norma sosial merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan bermasyarakat.

Penggunaan insentif untuk meningkatkan motivasi pekerja merupakan hal yang awam digunakan diberbagai perusahaan swasta. Idenya cukup sederhana, pekerja yang memiliki performa sesuai atau melebihi ekspektasi, akan mendapatkan insentif di luar bayaran pokok yang diterimanya. Kesempatan mendapatkan bayaran tambahan tersebut, diharapkan dapat memotivasi pekerja untuk melakukan pekerjaan mereka sesuai, atau bahkan melebihi, ekspektasi yang diberikan kepadanya.

Sementara itu, penggunaan norma sosial, untuk me-reinforce suatu kebijakan atau perilaku pada suatu kelompok, merupakan ide yang cenderung baru diadaptasi oleh bisnis dan organisasi lainnya. Penggunaan norma sosial sebagai behavioral engineering tool dikemukakan oleh Steve Martin dalam artikelnya “98% of HBR Reader Love This Article” yang dimuat di Harvard Business Review edisi Oktober 2012. Menurut Steve Martin, seseorang akan terdorong untuk mematuhi norma-norma dan aturan-aturan sosial yang terdapat di lingkungannya. Norma dan aturan sosial tersebut dapat didesain untuk mendorong perubahan perilaku anggota kelompok di dalam suatu komunitas. Penggunaan norma sosial memiliki kecenderungan untuk lebih efektif pada masyarakat yang mengutamakan kolektivitas kelompok seperti di Indonesia.

Sekarang mari kita lihat contoh pengaplikasian kedua hal tersebut ke dalam pekerjaan PNS di Indonesia. Bayangkan dua orang PNS yang berbeda, Amir dan Rian. Amir merupakan salah seorang yang PNS yang beruntung. Kantornya telah menetapkan kebijakan insentif untuk mendorong performa organisasi. Amir akan mendapatkan insentif apabila kinerjanya sesuai atau melebihi ekspektasi. Dengan sistem penilaian dan insentif yang baik, Amir dapat membawa pulang hampir 2 kali gaji normalnya.

Sementara itu, kantor Rian belum menetapkan kebijakan insentif sesuai performa pegawai. Tiap bulan Rian dapat membawa pulang sejumlah gaji tetap yang nominalnya tidak terpengaruh dari kinerja dan jumlah kerja yang dia lakukan. Karena kinerja 20, 50, 80, ataupun 100 persen tidak memiliki implikasi terhadap gaji Rian, dia dapat memilih untuk melakukan pekerjaan di bawah ekspektasi rata-rata. Lebih dari itu, karena sifat manusia yang selalu menginginkan lebih, Rian menyadari bahwa dia dapat mendapatkan “uang tambahan” dengan cara mempersulit proses kerjanya. Rian akan mengharapkan “uang pelicin” dari masyarakat yang dia layani agar kinerjanya mencapai hasil minimum untuk proses tersebut selesai atau berjalan. Dengan kata lain, dengan menurunkan produktivitas, PNS seperti Rian bisa mendapatkan sumber pendapatan lain dari masyarakat yang mereka layani.

Kembali ke Amir. Sistem insentif yang dilaksanakan di kantor Amir, hanya bisa efektif apabila setiap anggota organisasi menerima dan melaksanakan sistem tersebut. Beruntungnya Amir, penerapan sistem insentif di kantornya sudah dianggap sebagai norma sosial di antara para pekerja. Norma tersebut mendorong tiap-tiap anggota organisasi untuk mematuhi tata kelola yang berlaku di komunitas tersebut. Anggota yang mematuhi akan diterima oleh anggota komunitas yang lain, sedangkan yang tidak mematuhi akan dianggap sebagai pemberontak dan terancam dikucilkan di (dari) komunitas tersebut.

Sekarang mari bayangkan Rian juga berada di suatu departemen yang menerapkan sistem insentif. Namun berbeda dengan kantor Amir, sistem insentif di kantor Rian belum menjadi suatu norma sosial di antara anggotanya. Tanpa adanya norma sosial yang mendorong pelaksanaannya, sistem insentif di kantor tersebut tidak berjalan secara efektif. Rian yang semangat untuk maju dan mengadopsi sistem tersebut, tidak didukung oleh lingkungan dan rekan-rekan kerja di kantornya. Rian akhirnya menyerah pada tekanan untuk mengikuti “norma” yang ada di kantor tersebut, yaitu untuk tidak menjalankan program insentif dan mempertahankan status quo.

Tentu penerapan insentif dan norma sosial ke dalam organisasi pemerintahan tidak sesederhana ilustrasi Amir dan Rian di atas. Namun dengan perencanaan dan penerapan yang baik, adil, dan transparan, maka mimpi untuk mendorong kinerja sektor publik di Indonesia bisa jadi bukan sekedar mimpi.

Musisi dan Media: dan Bagaimana Hubungan Keduanya dapat Menghasilkan Keuntungan Jangka Panjang bagi Industri Musik

*artikel ini berhasil memenangkan Juara I Article Writing Competition pada acara Music Industry Seminar 2012 yang diadakan di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada 13 November 2012.

 

Winner: Article Writing Competition

Pernahkah Anda menyaksikan penampilan sebuah grup band di siaran televisi dan berpikir “ini band lagunya jelek gini kok bisa masuk tipi?” Mendengar sebuah lagu di radio dan bertanya-tanya “suara fals gini jadi penyanyi?” Atau membuka sebuah majalah dan melihat sesosok pria berpose bagai seorang model dan berkomentar “muka standar gini bisa jadi artis??!”

Sebagian besar dari penikmat televisi, radio, dan media cetak di Indonesia pasti pernah mengalami pengalaman seperti yang digambarkan di atas. Fenomena apa yang terjadi sebetulnya? Mengapa para penampil, musisi, atau artis yang ditampilkan dan dipublikasikan oleh media-media mengalami penurunan kualitas rata-rata yang cukup signifikan relatif dengan musisi atau artis tahun 70, 80, atau 90an?

Artikel ini berusaha menganalisis fenomena tersebut dari kacamata ilmu ekonomi. Yap, ILMU EKONOMI. Walaupun terdengar tidak seksi, bahkan cenderung konservatif, sesungguhnya ilmu ekonomi dapat digunakan sebagai pisau analisis untuk memahami kejadian-kejadian sehari-hari. Hubungan musisi dan media terus berkembang dan berubah, serta turut dipengaruhi kekuatan-kekuatan ekonomi yang melingkupi industri musik dan media.

Sejak industri musik lahir, musisi dan media bagai sepasang kekasih yang dimabuk asmara dan tidak bisa dipisahkan. Kadang bertengkar, tapi saling membutuhkan. Musisi membutuhkan media untuk mengekspos karya mereka ke khalayak luas, sedangkan media membutuhkan musisi sebagai objek liputan, pemberitaan, dan penyiaran. Dalam suatu dunia yang ideal, musisi dan media merupakan rekan yang memiliki derajat yang sama. Keduanya saling mendukung dan bersama-sama mendulang keuntungan di industri musik. Hubungan tersebut terus terjaga selama puluhan tahun. Setidaknya sampai beberapa tahun yang lalu…

Lalu datanglah era komputer dan internet.

Sebelum adanya teknologi komputer dan internet, produksi dan distribusi musik  membutuhkan biaya besar. Peran produksi dan distribusi dipegang oleh label rekaman (records labels) yang memiliki modal finansial yang kuat. Label rekaman membiayai proses produksi lagu-lagu sang musisi dan juga mengurus distribusi musik melalui toko-toko kaset dan CD. Tanpa dukungan label rekaman, musisi memiliki kemungkinan yang kecil untuk sukses di industri ini. Namun, perkembangan teknologi telah berperan besar dalam menurunkan biaya produksi dan distribusi musik. Tiba-tiba, setiap orang memiliki kesempatan untuk merekam dan mendistribusikan musik mereka dengan biaya yang jauh lebih murah. Dalam istilah ekonomi, teknologi berperan untuk “menghilangkan” barriers to entry ke industri musik.

Tanpa adanya peran label rekaman sebagai “middleman,” jumlah musisi yang masuk ke industri musik meningkat drastis. Musisi-musisi yang sebelumnya tidak memiliki kesempatan untuk dikontrak oleh label rekaman, sekarang bisa membuat rekaman sendiri, bahkan memasarkannya sendiri. Bagi pendengar dan penggemar musik, hal tersebut merupakan hal yang positif. Pilihan musisi dari berbagai genre dan negara tersedia secara luas. Harga yang harus dibayar untuk mendengar musik atau datang ke konser pun relatif menurun. Sepertinya semuanya baik-baik saja dan semua pihak jadi senang (kecuali label rekaman dan toko CD, tentunya.) Namun ternyata terdapat konsekuensi negatif dari pertumbuhan jumlah musisi akibat perkembangan teknologi tersebut. Jumlah musisi yang bertumbuh pesat ternyata tidak diiringi oleh pertumbuhan media cetak, elektronik, maupun digital.

 

Declining times for musicians?

 

Perbandingan komposisi antara musisi dan media yang tidak seimbang, menyebabkan pergeseran kekuatan antara keduanya. Hubungan antara keduanya tidak lagi setara. Hal tersebut merupakan konsekuensi wajar dari pertambahan musisi yang membutuhkan media (demand) dan terbatasnya media yang dapat memenuhi kebutuhan musisi tersebut (supply). Yak, benar sekali, fenomena tersebut merupakan perwujudan dari hukum supply and demand. Akibat ketimpangan tersebut, posisi tawar media terhadap musisi menguat, dan sebaliknya, posisi tawar musisi terhadap media semakin lemah.

Berdasarkan hukum persaingan sempurna, semakin tinggi tingkat persaingan, maka akan semakin baik kualitas produk yang dihasilkan. Seharusnya kualitas musik yang dihasilkan para musisi semakin baik seiring meningkatnya persaingan di antara mereka. Namun, apakah hal tersebut yang terjadi? Sepertinya justru kebalikannya. Banyak penggemar musik yang mengeluh bahwa musik-musik saat ini tidak lagi sebagus tahun 70an, 80an, 90an, atau bahkan awal 2000an. Walaupun hal tersebut bisa diatributkan kepada selera musik masing-masing pribadi, tetapi terdapat penjelasan dari perspektif ekonomi yang dapat diberikan.

Salah satu kelemahan sistem persaingan bebas adalah sulitnya mendeteksi dan mengidentifikasi kecurangan. Namun, apabila persaingan bebas tidak menghasilkan kualitas produk yang lebih baik, maka besar kemungkinan terdapat “kecurangan” yang terjadi. Musisi harus menghasilkan karya yang terbaik agar karyanya dapat ditampilkan di televisi atau disiarkan di radio. Persaingan yang ketat menyebabkan musisi-musisi tersebut harus mencari cara lain agar dapat diliput, disiarkan, atau di tampilkan di media-media. Cara tersebut adalah, UANG. Ya, selain dengan menghasilkan karya yang baik, musisi juga dapat memberikan uang kepada media agar karyanya dapat ditampilakan atau diliput. Inilah “kecurangan” yang dilakukan para musisi. Jalan pintas menuju ketenaran.

Kembali ke hukum supply – demand, media memang “berhak” untuk mengambil keuntungan dari komposisi industri yang tidak seimbang. Lagipula, tidak terdapat peraturan yang melarang media untuk menerima uang atau barang dari musisi atau label rekaman untuk menampilkan atau menyiarkan suatu karya musik. Namun, meskipun  media berhak memanfaatkan posisi tawar mereka untuk menghasilkan keuntungan finansial, tetapi terdapat kecenderungan bahwa langkah memiliki peran besar dalam menurunkan kualitas musik rata-rata dalam industri. Mengapa demikian? Walaupun tidak terdapat peraturan yang melarang, langkah media untuk “mempromosikan” karya musisi yang.

Industri Konser Musik Indonesia: surut sebelum berkembang?

concert_crowd

Everybody having a good tiiimmmeee..???

Masih segar di ingatan kita bagaimana hajatan musik Rock terbesar di Indonesia, Java Rockin’ Land 2012 (JRL2012), gagal diselenggarakan. Java Festival Production sebagai penyelenggara, dalam press release-nya, menyatakan bahwa ketidaksesuaian jadwal penyelenggaraan festival dengan jadwal musisi/band yang ingin dihadirkan sebagai penyebab utama pembatalan acara tersebut. Karena gagal mendatangkan artis yang diinginkan, maka pihak penyelenggara memilih untuk membatalkan acara daripada tetap dilaksanakan dengan resiko sepi pengunjung.

Walaupun saya termasuk orang yang belum membeli tiket JRL2012, tetapi berita pembatalan acara tersebut tetap mengagetkan. Terlebih penyelenggara JRL2012 adalah Java Festival Production yang telah berpengalaman bertahun-tahun menyelenggarakan berbagai festival musik level internasional. Hal tersebut menyebabkan saya bertanya-tanya…

Apa yang sebenarnya terjadi?

Bagaimana mungkin Festival Rock yang tiap tahunnya dijejali puluhan ribu penonton gagal dilaksanakan tahun ini?

Bukankah industri konser Indonesia sedang maju-majunya?

Izinkan saya mengutarakan analisis saya terhadap isu ini.

Seiring meningkatnya pertumbuhan ekonomi kelas menengah, permintaan terhadap produk-produk hiburan meningkat pesat. Konser musik adalah salah satu bentuk hiburan yang paling diminati. Tingginya permintaan menjadi peluang tersendiri bagi perkembangan industri hiburan. Promotor-promotor konser musik baru bermunculan dan berlomba-lomba mendatangkan musisi-musisi internasional untuk konser di Indonesia.

Beberapa tahun yang lalu, acara konser musik artis internasional dalam setahun di Indonesia dapat dihitung dengan jari. Kita sebagai penikmat musik kadang hanya dapat gigit jari mendengar kabar musisi-musisi terkenal konser di Malaysia atau Singapura, tapi tidak menyempatkan diri mampir ke Indonesia. Namun keadaannya sekarang sudah sangat berbeda. Terutama sejak tahun 2011, penyelenggaraan konser musik artis-artis internasional di Indonesia sudah tidak dapat lagi dihitung dengan jari (termasuk jari kaki). Kalau dulu dalam satu tahun, paling ada 4 atau 5 konser artis internasional, sekarang jumlah itu dapat ditemui dalam rentang waktu satu minggu. Bahkan tidak jarang pada hari yang sama terdapat 2 atau lebih konser musik yang diadakan berbarengan.

Hal ini tentu membuat kita sebagai penikmat musik kegirangan. Artis-artis internasional berbondong-bondong datang ke Indonesia untuk menghibur penggemarnya. Kita tidak perlu lagi jauh-jauh ke negeri seberang untuk sekedar nonton konser artis-artis kesayangan. Konser-konser yang dapat dinikmati dengan relatif mudah dan terjangkau. Sisi negatifnya, saking banyaknya konser, kadang-kadang promosi suatu konser sampai tidak kedengeran sama sekali, kecuali melalui channel-channel tertentu seperti twitter dan media sosial lainnya. Dan juga, bikin kantong kita-kita “kempes” karena banyak konser yang sifatnya must watch.

Booming industri konser jelas memiliki sisi positifnya. Booming terjadi karena persepsi dan spekulasi pertumbuhan tingkat permintaan yang tinggi oleh konsumen. Sesuai hukum supply and demand, permintaan yang tinggi menyebabkan nilai suatu produk dipersepsikan lebih tinggi dibandingkan nilai sebenarnya. Potensi keuntungan di industri yang sedang booming akan menarik investor dan pebisnis untuk menanamkan modal untuk mencoba meraup keuntungan. Namun, sebagaimana sejarah mencatat, setiap industri yang mengalami booming, maka suatu saat akan mengalami bust. Bust terjadi karena investor, produsen, dan konsumen menyadari bahwa tingkat permintaan yang sesungguhnya, tidak setinggi yang diperkirakan. Celakanya, pada saat hal tersebut terjadi, supply produk yang ditawarkan ke konsumen telah melebihi jumlah permintaan yang optimal. Sekali lagi, sesuai hukum supply and demand, jumlah pasokan yang melebihi jumlah permintaan akan mendorong harga atau nilai suatu produk menjadi rendah. Fenomena ini juga dikenal dengan istilah bubble and burst.

Inilah yang terjadi pada industri konser Indonesia. Banyaknya konser yang diadakan atau ditawarkan, tidak ditopang oleh jumlah permintaan yang cukup dari konsumen.

Tapi bukankah penduduk kelas menengah Indonesia jumlahnya jutaan? Jumlah konser yang hanya berjumlah puluhan sampai ratusan tiap tahunnya tidak akan cukup memenuhi hasrat nonton konser jutaan kelas menengah Indonesia.

Betul sekali.

Walaupun konser artis internasional diadakan 365 kali dalam setahun, tetap tidak akan mampu menampung seluruh masyarakat kelas menengah dan kelas atas sebagai target penonton. Namun, bagaimana dengan para sponsor?

Yak, SPONSOR. Konsumen utama para promotor.

Harus disadari, konser musik, sebagaimana bentuk-bentuk acara publik lain seperti seminar, pameran, atau perlombaan, adalah sebuah sarana promosi dan komunikasi. Sarana tersebut dimanfaatkan oleh para sponsor untuk mempromosikan atau menjual produknya kepada para peserta atau pengunjung suatu acara. Untuk mendapatkan kesempatan tersebut, para sponsor harus mensponsori penyelenggaraan suatu acara. Bentuknya dapat berupa pembiayaan secara tunai ataupun dukungan berupa produk atau jasa.

Konser sebagai media promosi sponsor

Para promotor atau penyelenggara acara, membutuhkan dukungan sponsor untuk mengadakan suatu perhelatan. Dukungan sponsor, terutama sponsor utama, diperlukan sebagai modal kerja dalam penyelenggaraan suatu acara. Hal tersebut bersifat vital karena promotor memerlukan modal kerja di awal. Promotor tidak dapat mengandalkan hasil penjualan tiket sebagai modal kerja karena penonton memiliki kebiasaan untuk membeli tiket pada saat-saat terakhir. (Kecuali pada konser artis-artis yang sangat diminati penonton, yang tiketnya dapat terjual habis jauh-jauh hari sebelum tanggal penyelenggaraan)

Booming industri konser menyebabkan jumlah acara yang diselenggarakan melebihi kebutuhan promosi para sponsor. Sponsor biasanya merupakan perusahaan-perusahaan besar yang telah memiliki anggaran promosi dan kerjasama yang sudah dialokasikan tiap tahunnya, sehingga mustahil bagi para sponsor untuk mensponsori suatu acara apabila alokasi dananya sudah digunakan untuk mendanai acara lain. Hal tersebut diperparah oleh komoditisasi acara konser sehingga sponsor tidak dapat membedakan lagi konser yang diadakan oleh promotor yang bagus atau tidak. Konsekuensi dari hal tersebut adalah persaingan antar promotor, baru maupun lama, dalam menggaet dukungan sponsor. Ada yang berhasil dapat, tetapi tidak sedikit pula yang gagal.

Sayangnya, (menurut analisis pribadi saya) JRL2012 termasuk pagelaran yang masuk kategori “tidak dapat sponsor utama.”

Hal tersebut terlihat dari nama acara JRL2012 yang tidak menggunakan nama sebuah produk. Padahal JRL tahun-tahun sebelumnya selalu menggunakan nama produk sponsor. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan seorang sahabat yang bekerja di majalah musik terkemuka. Sahabat tersebut menyatakan bahwa saat ini terdapat banyak konser dan acara-acara lainnya yang kesulitan mendapatkan dukungan sponsor. Salah satunya adalah JRL2012.

Jangan salah sangka, saya tidak bermaksud menjelek-jelekan tim marketing Java Festival Production dengan mengemukakan fakta ini. Saya hanya berusaha menunjukkan fenomena suatu industri yang tingkat persaingannya semakin ketat dengan momentum JRL2012 sebagai case study-nya.

Dan ini baru permulaan…

Kondisi “boom” dan “bust” suatu industri

Apabila argumentasi saya terbukti, maka batalnya JRL2012 hanyalah gejala awal dari suatu industri yang sedang mengalami bust. Mengacu pada sejarah yang terjadi di industri-industri lainnya, industri konser di Indonesia akan mengalami kemandegan. Sebagaimana segala sesuatu yang akan turun setelah sampai di puncak, tingkat permintaan untuk industri konser yang telah mencapai puncak akan terus mengalami penurunan.

Salahkah Download Lagu Tanpa Bayar?

cassette

It was much simpler when musicians sell cassettes..

Ditulis pada tahun 2011, beberapa hari setelah Java Jazz Festival diadakan.

Pergelaran Java Jazz Festival 2011 baru saja berlalu. Selama 3 hari, puluhan ribu pengunjung disuguhi permainan musik jazz kelas dunia dari musisi dalam dan luar negeri. Tua mau pun muda, berbaur bersama ribuan pengunjung lain yang haus akan hiburan berkualitas. Dengan jumlah pengunjung yang fenomenal itu, Java Jazz Festival merupakan tempat yang sesuai untuk memasarkan produk dan gagasan. Puluhan stand makanan dan produk lain menghiasi JIE Kemayoran, tempat festival diselenggarakan. Di antara belantara stand-stand komersial, terdapat satu stand yang memajang poster musisi-musisi Indonesia dengan mulut yang dibungkam dengan isolasi.

“Selamatkan Musik Kita”

Itulah highlight dari poster-poster tersebut. Gerakan tersebut adalah upaya musisi-musisi nasional untuk menyelamatkan musik Indonesia dan industrinya, dari keterpurukan seperti yang sedang terjadi sekarang ini. Rupanya Java Jazz Festival dianggap sebagai tempat yang tepat untuk mengampanyekan hal tersebut.

Di dalam poster tersebut juga terdapat ajakan kepada konsumen untuk tidak mengunduh, men-download, musik secara ilegal melalui internet. Ilegal di sini diartikan sebagai kegiatan mengunduh musik dari situs file sharing yang tidak memberikan kompensasi apa pun bagi musisi dan label rekaman yang memproduksi lagu sang musisi. Karena aktivitas yang sering digeneralisir sebagai pembajakan ini, musisi dan label rekaman tidak mendapat kompensasi finansial atas karya dan kerja mereka.

Pertanyaannya adalah:

”Apakah men-download lagu tapi gak bayar merupakan perbuatan yang salah?”

Sebagian besar dari kita mungkin secara jelas dan meyakikan dapat langsung menjawab bahwa kegiatan tersebut salah karena illegal download merupakan perbuatan yang melanggar hukum. Namun, jawaban dari pertanyaan dalam kacamata ekonomi adalah “belum tentu”.

KOK BISAA??!

Mungkin itu yang akan langsung terbersit di benak anda setelah membaca paragraf di atas. Ya, ternyata memang bisa, setidaknya apabila dilihat dari sudut pandang ilmu ekonomi. Di dalam ilmu ekonomi ada hukum supply vs demand yang kira-kira menyatakan bahwa: Semakin banyak permintaan akan suatu barang, maka harga akan naik. Sebaliknya semakin banyak barang yang ditawarkan/diproduksi maka harga akan semakin murah.

Apabila kita amati kondisi dunia musik saat ini, tiap hari bermunculan musisi-musisi baru. Lagu-lagu dan grup-grup musik bermunculan, baik yang mempunyai kualitas musikal, maupun yang “pas-pasan” saja. Dunia musik yang gemerlap rupanya menjadi daya tarik bagi banyak orang untuk mencoba peruntungannya menjadi “artis”, namun sayangnya hanya sedikit yang motivasinya murni untuk menjadi pemusik.

Penambahan dari segi jumlah ini rupanya tidak sebanding dengan daya serap masyarakat. Menurut hukum supply-demand penambahan penawaran suatu produk akan berdampak pada turunnya harga equilibrium, yaitu harga optimal konsumen rela membayar untuk suatu produk. Produk dalam kasus ini berupa lagu.

Banyaknya lagu yang beredar di pasaran membuat nilai lagu secara umum menjadi kehilangan harga di mata masyarakat. Celakanya, saking banyaknya lagu yang beredar di pasaran, titik ini hampir (atau sudah) mencapai titik 0, di mana lagu sudah tidak memiliki nilai finansial di mata masyarakat. Artinya, nilai optimum yang rela dikeluarkan oleh seseorang untuk membeli lagu (secara online) adalah Rp. 0.-!!

Nilai suatu produk juga sangat erat hubungannya dengan kualitas yang terdapat pada produk tersebut. Apabila hukum supply-demand menunjukkan pengaruh kuantitas suatu produk terhadap harga produk tersebut, maka definisi profit atau keuntungan finansial dalam ilmu ekonomi, dapat menunjukan hubungan kualitas terhadap harga.

Dalam ilmu ekonomi, profit atau laba diartikan sebagai sinyal bagi produsen bahwa masyarakat menghargai tinggi produk yang diproduksi atau ditawarkan (Baye, 2010). Dapat kita ambil kesimpulan bahwa, masyarakat akan memberikan value kepada produsen, apabila produk yang ditawarkan memiliki value yang dihargai tinggi oleh masyarakat. Sebaliknya apabila produk tersebut tidak memiliki nilai yang dihargai tinggi oleh masyarakat, maka masyarakat akan enggan untuk mengeluarkan uang untuk mendapatkan produk tersebut.

Kenapa masyarakat gak mau bayar untuk men-download lagu?

Jika merujuk pada teori di atas, perilaku masyarakat yang mengunduh lagu tanpa membayar mengindikasikan bahwa masyarakat menilai bahwa produk tidak memiliki harga bagi mereka. Hal tersebut erat kaitannya dengan kualitas suatu produk. Apabila produk berkualitas tinggi, saya rasa masyarakat tidak akan keberatan membayar sejumlah harga untuk mendapatkan produk tersebut. Ini juga sesuai dengan sifat ekonomi manusia yaitu mendapatkan barang sebanyak-banyaknya dengan harga serendah-rendahnya.

Kualitas suatu lagu sangat sulit diukur. Tidak ada benchmark yang jelas antara lagu berkualitas dan tidak berkualitas. Namun dari fenomena banyaknya download lagu tanpa bayar, seharusnya menjadi sinyal bagi para musisi bahwa kualitas kebanyakan lagu yang beredar tidak lagi memiliki harga bagi konsumen. Kualitas musisi karbitan dan banyaknya plagiarisme oleh musisi-musisi yang tak bertanggung jawab, menambah skeptisme masyarakat bahwa lagu tidak layak dibayar untuk diunduh. Apabila kualitas lagu memang rendah, maka wajar apa bila masyarakat menghargai lagu-lagu di pasaran dengan harga Rp. 0.-. Mereka tidak rela mengeluarkan uang untuk mengunduh sebuah lagu. Apabila lagu dengan kualitas rendah dijual kepada masyarakat, maka sesungguhnya pihak produsenlah yang telah men-zalimi pembelinya.

Kualitas menjadi kata kunci pada situasi ini. Industri musik harus menghasilkan musik yang berkualitas agar masyarakat rela mengeluarkan nilai untuk mendapatkannya. Industri musik juga harus mengedukasi konsumennya agar dapat membedakan antara musik yang baik dengan musik yang “asal jadi”. Hal ini mungkin tidak mudah untuk dilakukan, namun penting sekali untuk menjamin sustainability dan profitability suatu industri.

Sebagai penutup, sekali lagi saya mengingatkan bahwa saya tidak mendukung illegal downloading untuk tujuan komersial (piracy), tetapi apabila untuk konsumsi pribadi, menurut saya masih OK. Sebagai musisi, sebaiknya kita tidak menyalahkan pendengar dan masyarakat apabila mereka tidak mau membayar untuk lagu yang tidak memiliki bentuk fisik, namun kita harus bertanya kepada diri kita sendiri,

Sudahkah kita membuat musik dan lagu yang berkualitas baik?

The night before Jakarta election…

Jakarta at Dusk

Will lights shine on Jakarta?

10 Juli 2012..

Mungkin 10 tahun lagi sebagian besar dari kita ga akan inget apa yang terjadi pada hari ini. Memang sih, tidak ada kejadian yang spesial yang terjadi pada hari ini (setidaknya untuk saya). Namun, sebenarnya tanggal 10 Juli 2012 merupakan malam yang cukup spesial. Malam ini adalah malam sebelum Pemilihan Kepala Daerah (Pemilu Kada) DKI Jakarta yang akan menentukan Gubernur dan Wakil Gubernur yang akan memimpin Ibukota kita tercinta selama 5 tahun ke depan.

Selama 2 minggu terakhir, warga Jakarta telah dijejali kampanye dari para Cagub dan Cawagub Jakarta menggunakan berbagai macam media. Ada yang nempel poster, ada yang masang spanduk, sampe ada yang ngiklan di bioskop. Ada yang berkumis, ada yang pake batik, ada yang pake corak kotak-kotak, dan lain sebagainya. Saya ga akan bahas satu persatu Cagub dan Cawagub yang maju karena mungkin hanya akan nambah pusing temen-temen semua.

Tetapi saya perlu (dan merasa berkewajiban) untuk menuangkan apresiasi saya kepada salah satu cagub yaitu FAISAL BASRI.

Kenapa? Soalnya sebagai seseorang yang sudah sangat apatis dengan kondisi politik di Indonesia, dengan segala tipu daya dan kebohongannya, majunya Faisal Basri dari jalur independen menjadi alternatif yang sangat dibutuhkan rakyat Indonesia. Ibaratnya bagai setetes air dingin di padang pasir, padang pasir politik Indonesia.

Majunya Bang Faisal bagai mengatakan kepada pemilih bahwa ada pilihan lain di luar calon-calon yang “dipilihin” sama parpol-parpol. Bagai menyatakan bahwa kami sebagai rakyat sudah muak dibodoh-bodohi oleh parpol dan segala antek-anteknya. Bagai menyatakan bahwa masyarakat dapat mengaspirasikan pendapatnya secara mandiri tanpa parpol sebagai mediatornya.

Saya pribadi tidak dapat memilih esok hari karena KTP saya bukan DKI Jakarta, walau hampir setiap hari beraktifitas di Jakarta. Saya hanya dapat menuliskan tulisan ini sebagai bentuk dukungan kepada Bang Faisal.

Semoga tanggal 10 Juli 2012 akan dikenang sebagai Malam sebelum Rakyat Jakarta Bebas dari Cengkraman Partai Politik.

Maher Muhamad