Mari kita sejenak berandai-andai, bagaimana kondisi Indonesia tanpa Pegawai Negeri Sipil (PNS). Jalanan yang rusak dan berlubang dibiarkan terbengkalai karena tidak ada pihak yang memperbaiki. Saat malam tiba, kegelapan menyelimuti karena tidak tersedia pasokan listrik untuk menyalakan lampu di rumah-rumah. Banjir menggenangi jalanan dan perumahan, karena tidak ada petugas yang membersihkan saluran air dan sungai yang tersumbat sampah yang menggunung. Pertumbuhan ekonomi terhenti karena fondasi dan infrastruktur bisnis tidak tersedia. Kekacauan di mana-mana tanpa adanya pihak yang mengatur dan mendisiplinkan.
Keberadaan PNS memastikan bahwa terdapat instrumen pelayanan publik yang melayani kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang tidak dapat dipenuhi oleh sektor privat. Pelayanan publik yang baik merupakan fondasi dari perkembangan ekonomi suatu negara. Tanpa pelayanan publik yang prima, mustahil bagi sektor usaha dan bisnis untuk dapat berkembang dengan pesat. Sektor usaha dan bisnis dapat berkreasi dan berproduktif sesuai dengan perannya masing-masing, karena mereka tidak perlu lagi memikirkan hal-hal yang menjadi ranah publik seperti pembuatan dan perbaikan jalan, penyediaan sarana transportasi, penyediaan energi dan air, dan lain sebagainya.
Peran pegawai negeri sipil (PNS) di Indonesia memang menimbulkan kontroversi. Di satu sisi masyarakat muak akan ketidakbecusan aparat pemerintah dalam melakukan tugas-tugasnya. Namun di sisi lain, hampir tidak mungkin pelayanan publik dapat berfungsi tanpa para PNS yang melakukan perannya. Sekilas hubungan publik dengan PNS seperti love-hate relationship, benci tapi cinta juga. Apabila ditelaah lebih mendalam, peran PNS sebetulnya lebih besar daripada anggapan publik selama ini.
Perbaikan sektor pelayanan publik merupakan kebutuhan dan kepentingan tiap pihak, tidak terkecuali sektor usaha dan bisnis. Perbaikan kinerja para “pelayan” publik tersebut harus menjadi perhatian semua pihak. Banyak cara, waktu, tenaga, dan uang yang telah digelontorkan untuk mendorong peningkatan kinerja para pelayan publik ini. Namun hasilnya belum optimal.
Pertanyaannya saat ini adalah, cara apa lagi yang harus diambil untuk meningkatkan kinerja dan produktifitas PNS?
Artikel ini berusaha memberikan gambaran bagaimana penggunaan “insentif” dan “norma sosial” dapat mendorong peningkatan kinerja PNS secara individu maupun secara kolektif sebagai suatu organisasi.
Terdapat dua hipotesis yang mendasari argumentasi pada artikel ini,
- (mayoritas) PNS di Indonesia tidak mendapatkan insentif atau apresiasi apabila melaksanakan dan menyelesaikan kerja dengan baik; dan
- masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang mengedepankan kolektivitas daripada pencapaian pribadi, sehingga mengikuti aturan dan norma sosial merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan bermasyarakat.
Penggunaan insentif untuk meningkatkan motivasi pekerja merupakan hal yang awam digunakan diberbagai perusahaan swasta. Idenya cukup sederhana, pekerja yang memiliki performa sesuai atau melebihi ekspektasi, akan mendapatkan insentif di luar bayaran pokok yang diterimanya. Kesempatan mendapatkan bayaran tambahan tersebut, diharapkan dapat memotivasi pekerja untuk melakukan pekerjaan mereka sesuai, atau bahkan melebihi, ekspektasi yang diberikan kepadanya.
Sementara itu, penggunaan norma sosial, untuk me-reinforce suatu kebijakan atau perilaku pada suatu kelompok, merupakan ide yang cenderung baru diadaptasi oleh bisnis dan organisasi lainnya. Penggunaan norma sosial sebagai behavioral engineering tool dikemukakan oleh Steve Martin dalam artikelnya “98% of HBR Reader Love This Article” yang dimuat di Harvard Business Review edisi Oktober 2012. Menurut Steve Martin, seseorang akan terdorong untuk mematuhi norma-norma dan aturan-aturan sosial yang terdapat di lingkungannya. Norma dan aturan sosial tersebut dapat didesain untuk mendorong perubahan perilaku anggota kelompok di dalam suatu komunitas. Penggunaan norma sosial memiliki kecenderungan untuk lebih efektif pada masyarakat yang mengutamakan kolektivitas kelompok seperti di Indonesia.
Sekarang mari kita lihat contoh pengaplikasian kedua hal tersebut ke dalam pekerjaan PNS di Indonesia. Bayangkan dua orang PNS yang berbeda, Amir dan Rian. Amir merupakan salah seorang yang PNS yang beruntung. Kantornya telah menetapkan kebijakan insentif untuk mendorong performa organisasi. Amir akan mendapatkan insentif apabila kinerjanya sesuai atau melebihi ekspektasi. Dengan sistem penilaian dan insentif yang baik, Amir dapat membawa pulang hampir 2 kali gaji normalnya.
Sementara itu, kantor Rian belum menetapkan kebijakan insentif sesuai performa pegawai. Tiap bulan Rian dapat membawa pulang sejumlah gaji tetap yang nominalnya tidak terpengaruh dari kinerja dan jumlah kerja yang dia lakukan. Karena kinerja 20, 50, 80, ataupun 100 persen tidak memiliki implikasi terhadap gaji Rian, dia dapat memilih untuk melakukan pekerjaan di bawah ekspektasi rata-rata. Lebih dari itu, karena sifat manusia yang selalu menginginkan lebih, Rian menyadari bahwa dia dapat mendapatkan “uang tambahan” dengan cara mempersulit proses kerjanya. Rian akan mengharapkan “uang pelicin” dari masyarakat yang dia layani agar kinerjanya mencapai hasil minimum untuk proses tersebut selesai atau berjalan. Dengan kata lain, dengan menurunkan produktivitas, PNS seperti Rian bisa mendapatkan sumber pendapatan lain dari masyarakat yang mereka layani.
Kembali ke Amir. Sistem insentif yang dilaksanakan di kantor Amir, hanya bisa efektif apabila setiap anggota organisasi menerima dan melaksanakan sistem tersebut. Beruntungnya Amir, penerapan sistem insentif di kantornya sudah dianggap sebagai norma sosial di antara para pekerja. Norma tersebut mendorong tiap-tiap anggota organisasi untuk mematuhi tata kelola yang berlaku di komunitas tersebut. Anggota yang mematuhi akan diterima oleh anggota komunitas yang lain, sedangkan yang tidak mematuhi akan dianggap sebagai pemberontak dan terancam dikucilkan di (dari) komunitas tersebut.
Sekarang mari bayangkan Rian juga berada di suatu departemen yang menerapkan sistem insentif. Namun berbeda dengan kantor Amir, sistem insentif di kantor Rian belum menjadi suatu norma sosial di antara anggotanya. Tanpa adanya norma sosial yang mendorong pelaksanaannya, sistem insentif di kantor tersebut tidak berjalan secara efektif. Rian yang semangat untuk maju dan mengadopsi sistem tersebut, tidak didukung oleh lingkungan dan rekan-rekan kerja di kantornya. Rian akhirnya menyerah pada tekanan untuk mengikuti “norma” yang ada di kantor tersebut, yaitu untuk tidak menjalankan program insentif dan mempertahankan status quo.
Tentu penerapan insentif dan norma sosial ke dalam organisasi pemerintahan tidak sesederhana ilustrasi Amir dan Rian di atas. Namun dengan perencanaan dan penerapan yang baik, adil, dan transparan, maka mimpi untuk mendorong kinerja sektor publik di Indonesia bisa jadi bukan sekedar mimpi.