Masih segar di ingatan kita bagaimana hajatan musik Rock terbesar di Indonesia, Java Rockin’ Land 2012 (JRL2012), gagal diselenggarakan. Java Festival Production sebagai penyelenggara, dalam press release-nya, menyatakan bahwa ketidaksesuaian jadwal penyelenggaraan festival dengan jadwal musisi/band yang ingin dihadirkan sebagai penyebab utama pembatalan acara tersebut. Karena gagal mendatangkan artis yang diinginkan, maka pihak penyelenggara memilih untuk membatalkan acara daripada tetap dilaksanakan dengan resiko sepi pengunjung.
Walaupun saya termasuk orang yang belum membeli tiket JRL2012, tetapi berita pembatalan acara tersebut tetap mengagetkan. Terlebih penyelenggara JRL2012 adalah Java Festival Production yang telah berpengalaman bertahun-tahun menyelenggarakan berbagai festival musik level internasional. Hal tersebut menyebabkan saya bertanya-tanya…
Apa yang sebenarnya terjadi?
Bagaimana mungkin Festival Rock yang tiap tahunnya dijejali puluhan ribu penonton gagal dilaksanakan tahun ini?
Bukankah industri konser Indonesia sedang maju-majunya?
Izinkan saya mengutarakan analisis saya terhadap isu ini.
Seiring meningkatnya pertumbuhan ekonomi kelas menengah, permintaan terhadap produk-produk hiburan meningkat pesat. Konser musik adalah salah satu bentuk hiburan yang paling diminati. Tingginya permintaan menjadi peluang tersendiri bagi perkembangan industri hiburan. Promotor-promotor konser musik baru bermunculan dan berlomba-lomba mendatangkan musisi-musisi internasional untuk konser di Indonesia.
Beberapa tahun yang lalu, acara konser musik artis internasional dalam setahun di Indonesia dapat dihitung dengan jari. Kita sebagai penikmat musik kadang hanya dapat gigit jari mendengar kabar musisi-musisi terkenal konser di Malaysia atau Singapura, tapi tidak menyempatkan diri mampir ke Indonesia. Namun keadaannya sekarang sudah sangat berbeda. Terutama sejak tahun 2011, penyelenggaraan konser musik artis-artis internasional di Indonesia sudah tidak dapat lagi dihitung dengan jari (termasuk jari kaki). Kalau dulu dalam satu tahun, paling ada 4 atau 5 konser artis internasional, sekarang jumlah itu dapat ditemui dalam rentang waktu satu minggu. Bahkan tidak jarang pada hari yang sama terdapat 2 atau lebih konser musik yang diadakan berbarengan.
Hal ini tentu membuat kita sebagai penikmat musik kegirangan. Artis-artis internasional berbondong-bondong datang ke Indonesia untuk menghibur penggemarnya. Kita tidak perlu lagi jauh-jauh ke negeri seberang untuk sekedar nonton konser artis-artis kesayangan. Konser-konser yang dapat dinikmati dengan relatif mudah dan terjangkau. Sisi negatifnya, saking banyaknya konser, kadang-kadang promosi suatu konser sampai tidak kedengeran sama sekali, kecuali melalui channel-channel tertentu seperti twitter dan media sosial lainnya. Dan juga, bikin kantong kita-kita “kempes” karena banyak konser yang sifatnya must watch.
Booming industri konser jelas memiliki sisi positifnya. Booming terjadi karena persepsi dan spekulasi pertumbuhan tingkat permintaan yang tinggi oleh konsumen. Sesuai hukum supply and demand, permintaan yang tinggi menyebabkan nilai suatu produk dipersepsikan lebih tinggi dibandingkan nilai sebenarnya. Potensi keuntungan di industri yang sedang booming akan menarik investor dan pebisnis untuk menanamkan modal untuk mencoba meraup keuntungan. Namun, sebagaimana sejarah mencatat, setiap industri yang mengalami booming, maka suatu saat akan mengalami bust. Bust terjadi karena investor, produsen, dan konsumen menyadari bahwa tingkat permintaan yang sesungguhnya, tidak setinggi yang diperkirakan. Celakanya, pada saat hal tersebut terjadi, supply produk yang ditawarkan ke konsumen telah melebihi jumlah permintaan yang optimal. Sekali lagi, sesuai hukum supply and demand, jumlah pasokan yang melebihi jumlah permintaan akan mendorong harga atau nilai suatu produk menjadi rendah. Fenomena ini juga dikenal dengan istilah bubble and burst.
Inilah yang terjadi pada industri konser Indonesia. Banyaknya konser yang diadakan atau ditawarkan, tidak ditopang oleh jumlah permintaan yang cukup dari konsumen.
Tapi bukankah penduduk kelas menengah Indonesia jumlahnya jutaan? Jumlah konser yang hanya berjumlah puluhan sampai ratusan tiap tahunnya tidak akan cukup memenuhi hasrat nonton konser jutaan kelas menengah Indonesia.
Betul sekali.
Walaupun konser artis internasional diadakan 365 kali dalam setahun, tetap tidak akan mampu menampung seluruh masyarakat kelas menengah dan kelas atas sebagai target penonton. Namun, bagaimana dengan para sponsor?
Yak, SPONSOR. Konsumen utama para promotor.
Harus disadari, konser musik, sebagaimana bentuk-bentuk acara publik lain seperti seminar, pameran, atau perlombaan, adalah sebuah sarana promosi dan komunikasi. Sarana tersebut dimanfaatkan oleh para sponsor untuk mempromosikan atau menjual produknya kepada para peserta atau pengunjung suatu acara. Untuk mendapatkan kesempatan tersebut, para sponsor harus mensponsori penyelenggaraan suatu acara. Bentuknya dapat berupa pembiayaan secara tunai ataupun dukungan berupa produk atau jasa.
Para promotor atau penyelenggara acara, membutuhkan dukungan sponsor untuk mengadakan suatu perhelatan. Dukungan sponsor, terutama sponsor utama, diperlukan sebagai modal kerja dalam penyelenggaraan suatu acara. Hal tersebut bersifat vital karena promotor memerlukan modal kerja di awal. Promotor tidak dapat mengandalkan hasil penjualan tiket sebagai modal kerja karena penonton memiliki kebiasaan untuk membeli tiket pada saat-saat terakhir. (Kecuali pada konser artis-artis yang sangat diminati penonton, yang tiketnya dapat terjual habis jauh-jauh hari sebelum tanggal penyelenggaraan)
Booming industri konser menyebabkan jumlah acara yang diselenggarakan melebihi kebutuhan promosi para sponsor. Sponsor biasanya merupakan perusahaan-perusahaan besar yang telah memiliki anggaran promosi dan kerjasama yang sudah dialokasikan tiap tahunnya, sehingga mustahil bagi para sponsor untuk mensponsori suatu acara apabila alokasi dananya sudah digunakan untuk mendanai acara lain. Hal tersebut diperparah oleh komoditisasi acara konser sehingga sponsor tidak dapat membedakan lagi konser yang diadakan oleh promotor yang bagus atau tidak. Konsekuensi dari hal tersebut adalah persaingan antar promotor, baru maupun lama, dalam menggaet dukungan sponsor. Ada yang berhasil dapat, tetapi tidak sedikit pula yang gagal.
Sayangnya, (menurut analisis pribadi saya) JRL2012 termasuk pagelaran yang masuk kategori “tidak dapat sponsor utama.”
Hal tersebut terlihat dari nama acara JRL2012 yang tidak menggunakan nama sebuah produk. Padahal JRL tahun-tahun sebelumnya selalu menggunakan nama produk sponsor. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan seorang sahabat yang bekerja di majalah musik terkemuka. Sahabat tersebut menyatakan bahwa saat ini terdapat banyak konser dan acara-acara lainnya yang kesulitan mendapatkan dukungan sponsor. Salah satunya adalah JRL2012.
Jangan salah sangka, saya tidak bermaksud menjelek-jelekan tim marketing Java Festival Production dengan mengemukakan fakta ini. Saya hanya berusaha menunjukkan fenomena suatu industri yang tingkat persaingannya semakin ketat dengan momentum JRL2012 sebagai case study-nya.
Dan ini baru permulaan…
Apabila argumentasi saya terbukti, maka batalnya JRL2012 hanyalah gejala awal dari suatu industri yang sedang mengalami bust. Mengacu pada sejarah yang terjadi di industri-industri lainnya, industri konser di Indonesia akan mengalami kemandegan. Sebagaimana segala sesuatu yang akan turun setelah sampai di puncak, tingkat permintaan untuk industri konser yang telah mencapai puncak akan terus mengalami penurunan.