Monthly Archives: July 2012

Industri Konser Musik Indonesia: surut sebelum berkembang?

concert_crowd

Everybody having a good tiiimmmeee..???

Masih segar di ingatan kita bagaimana hajatan musik Rock terbesar di Indonesia, Java Rockin’ Land 2012 (JRL2012), gagal diselenggarakan. Java Festival Production sebagai penyelenggara, dalam press release-nya, menyatakan bahwa ketidaksesuaian jadwal penyelenggaraan festival dengan jadwal musisi/band yang ingin dihadirkan sebagai penyebab utama pembatalan acara tersebut. Karena gagal mendatangkan artis yang diinginkan, maka pihak penyelenggara memilih untuk membatalkan acara daripada tetap dilaksanakan dengan resiko sepi pengunjung.

Walaupun saya termasuk orang yang belum membeli tiket JRL2012, tetapi berita pembatalan acara tersebut tetap mengagetkan. Terlebih penyelenggara JRL2012 adalah Java Festival Production yang telah berpengalaman bertahun-tahun menyelenggarakan berbagai festival musik level internasional. Hal tersebut menyebabkan saya bertanya-tanya…

Apa yang sebenarnya terjadi?

Bagaimana mungkin Festival Rock yang tiap tahunnya dijejali puluhan ribu penonton gagal dilaksanakan tahun ini?

Bukankah industri konser Indonesia sedang maju-majunya?

Izinkan saya mengutarakan analisis saya terhadap isu ini.

Seiring meningkatnya pertumbuhan ekonomi kelas menengah, permintaan terhadap produk-produk hiburan meningkat pesat. Konser musik adalah salah satu bentuk hiburan yang paling diminati. Tingginya permintaan menjadi peluang tersendiri bagi perkembangan industri hiburan. Promotor-promotor konser musik baru bermunculan dan berlomba-lomba mendatangkan musisi-musisi internasional untuk konser di Indonesia.

Beberapa tahun yang lalu, acara konser musik artis internasional dalam setahun di Indonesia dapat dihitung dengan jari. Kita sebagai penikmat musik kadang hanya dapat gigit jari mendengar kabar musisi-musisi terkenal konser di Malaysia atau Singapura, tapi tidak menyempatkan diri mampir ke Indonesia. Namun keadaannya sekarang sudah sangat berbeda. Terutama sejak tahun 2011, penyelenggaraan konser musik artis-artis internasional di Indonesia sudah tidak dapat lagi dihitung dengan jari (termasuk jari kaki). Kalau dulu dalam satu tahun, paling ada 4 atau 5 konser artis internasional, sekarang jumlah itu dapat ditemui dalam rentang waktu satu minggu. Bahkan tidak jarang pada hari yang sama terdapat 2 atau lebih konser musik yang diadakan berbarengan.

Hal ini tentu membuat kita sebagai penikmat musik kegirangan. Artis-artis internasional berbondong-bondong datang ke Indonesia untuk menghibur penggemarnya. Kita tidak perlu lagi jauh-jauh ke negeri seberang untuk sekedar nonton konser artis-artis kesayangan. Konser-konser yang dapat dinikmati dengan relatif mudah dan terjangkau. Sisi negatifnya, saking banyaknya konser, kadang-kadang promosi suatu konser sampai tidak kedengeran sama sekali, kecuali melalui channel-channel tertentu seperti twitter dan media sosial lainnya. Dan juga, bikin kantong kita-kita “kempes” karena banyak konser yang sifatnya must watch.

Booming industri konser jelas memiliki sisi positifnya. Booming terjadi karena persepsi dan spekulasi pertumbuhan tingkat permintaan yang tinggi oleh konsumen. Sesuai hukum supply and demand, permintaan yang tinggi menyebabkan nilai suatu produk dipersepsikan lebih tinggi dibandingkan nilai sebenarnya. Potensi keuntungan di industri yang sedang booming akan menarik investor dan pebisnis untuk menanamkan modal untuk mencoba meraup keuntungan. Namun, sebagaimana sejarah mencatat, setiap industri yang mengalami booming, maka suatu saat akan mengalami bust. Bust terjadi karena investor, produsen, dan konsumen menyadari bahwa tingkat permintaan yang sesungguhnya, tidak setinggi yang diperkirakan. Celakanya, pada saat hal tersebut terjadi, supply produk yang ditawarkan ke konsumen telah melebihi jumlah permintaan yang optimal. Sekali lagi, sesuai hukum supply and demand, jumlah pasokan yang melebihi jumlah permintaan akan mendorong harga atau nilai suatu produk menjadi rendah. Fenomena ini juga dikenal dengan istilah bubble and burst.

Inilah yang terjadi pada industri konser Indonesia. Banyaknya konser yang diadakan atau ditawarkan, tidak ditopang oleh jumlah permintaan yang cukup dari konsumen.

Tapi bukankah penduduk kelas menengah Indonesia jumlahnya jutaan? Jumlah konser yang hanya berjumlah puluhan sampai ratusan tiap tahunnya tidak akan cukup memenuhi hasrat nonton konser jutaan kelas menengah Indonesia.

Betul sekali.

Walaupun konser artis internasional diadakan 365 kali dalam setahun, tetap tidak akan mampu menampung seluruh masyarakat kelas menengah dan kelas atas sebagai target penonton. Namun, bagaimana dengan para sponsor?

Yak, SPONSOR. Konsumen utama para promotor.

Harus disadari, konser musik, sebagaimana bentuk-bentuk acara publik lain seperti seminar, pameran, atau perlombaan, adalah sebuah sarana promosi dan komunikasi. Sarana tersebut dimanfaatkan oleh para sponsor untuk mempromosikan atau menjual produknya kepada para peserta atau pengunjung suatu acara. Untuk mendapatkan kesempatan tersebut, para sponsor harus mensponsori penyelenggaraan suatu acara. Bentuknya dapat berupa pembiayaan secara tunai ataupun dukungan berupa produk atau jasa.

Konser sebagai media promosi sponsor

Para promotor atau penyelenggara acara, membutuhkan dukungan sponsor untuk mengadakan suatu perhelatan. Dukungan sponsor, terutama sponsor utama, diperlukan sebagai modal kerja dalam penyelenggaraan suatu acara. Hal tersebut bersifat vital karena promotor memerlukan modal kerja di awal. Promotor tidak dapat mengandalkan hasil penjualan tiket sebagai modal kerja karena penonton memiliki kebiasaan untuk membeli tiket pada saat-saat terakhir. (Kecuali pada konser artis-artis yang sangat diminati penonton, yang tiketnya dapat terjual habis jauh-jauh hari sebelum tanggal penyelenggaraan)

Booming industri konser menyebabkan jumlah acara yang diselenggarakan melebihi kebutuhan promosi para sponsor. Sponsor biasanya merupakan perusahaan-perusahaan besar yang telah memiliki anggaran promosi dan kerjasama yang sudah dialokasikan tiap tahunnya, sehingga mustahil bagi para sponsor untuk mensponsori suatu acara apabila alokasi dananya sudah digunakan untuk mendanai acara lain. Hal tersebut diperparah oleh komoditisasi acara konser sehingga sponsor tidak dapat membedakan lagi konser yang diadakan oleh promotor yang bagus atau tidak. Konsekuensi dari hal tersebut adalah persaingan antar promotor, baru maupun lama, dalam menggaet dukungan sponsor. Ada yang berhasil dapat, tetapi tidak sedikit pula yang gagal.

Sayangnya, (menurut analisis pribadi saya) JRL2012 termasuk pagelaran yang masuk kategori “tidak dapat sponsor utama.”

Hal tersebut terlihat dari nama acara JRL2012 yang tidak menggunakan nama sebuah produk. Padahal JRL tahun-tahun sebelumnya selalu menggunakan nama produk sponsor. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan seorang sahabat yang bekerja di majalah musik terkemuka. Sahabat tersebut menyatakan bahwa saat ini terdapat banyak konser dan acara-acara lainnya yang kesulitan mendapatkan dukungan sponsor. Salah satunya adalah JRL2012.

Jangan salah sangka, saya tidak bermaksud menjelek-jelekan tim marketing Java Festival Production dengan mengemukakan fakta ini. Saya hanya berusaha menunjukkan fenomena suatu industri yang tingkat persaingannya semakin ketat dengan momentum JRL2012 sebagai case study-nya.

Dan ini baru permulaan…

Kondisi “boom” dan “bust” suatu industri

Apabila argumentasi saya terbukti, maka batalnya JRL2012 hanyalah gejala awal dari suatu industri yang sedang mengalami bust. Mengacu pada sejarah yang terjadi di industri-industri lainnya, industri konser di Indonesia akan mengalami kemandegan. Sebagaimana segala sesuatu yang akan turun setelah sampai di puncak, tingkat permintaan untuk industri konser yang telah mencapai puncak akan terus mengalami penurunan.

Salahkah Download Lagu Tanpa Bayar?

cassette

It was much simpler when musicians sell cassettes..

Ditulis pada tahun 2011, beberapa hari setelah Java Jazz Festival diadakan.

Pergelaran Java Jazz Festival 2011 baru saja berlalu. Selama 3 hari, puluhan ribu pengunjung disuguhi permainan musik jazz kelas dunia dari musisi dalam dan luar negeri. Tua mau pun muda, berbaur bersama ribuan pengunjung lain yang haus akan hiburan berkualitas. Dengan jumlah pengunjung yang fenomenal itu, Java Jazz Festival merupakan tempat yang sesuai untuk memasarkan produk dan gagasan. Puluhan stand makanan dan produk lain menghiasi JIE Kemayoran, tempat festival diselenggarakan. Di antara belantara stand-stand komersial, terdapat satu stand yang memajang poster musisi-musisi Indonesia dengan mulut yang dibungkam dengan isolasi.

“Selamatkan Musik Kita”

Itulah highlight dari poster-poster tersebut. Gerakan tersebut adalah upaya musisi-musisi nasional untuk menyelamatkan musik Indonesia dan industrinya, dari keterpurukan seperti yang sedang terjadi sekarang ini. Rupanya Java Jazz Festival dianggap sebagai tempat yang tepat untuk mengampanyekan hal tersebut.

Di dalam poster tersebut juga terdapat ajakan kepada konsumen untuk tidak mengunduh, men-download, musik secara ilegal melalui internet. Ilegal di sini diartikan sebagai kegiatan mengunduh musik dari situs file sharing yang tidak memberikan kompensasi apa pun bagi musisi dan label rekaman yang memproduksi lagu sang musisi. Karena aktivitas yang sering digeneralisir sebagai pembajakan ini, musisi dan label rekaman tidak mendapat kompensasi finansial atas karya dan kerja mereka.

Pertanyaannya adalah:

”Apakah men-download lagu tapi gak bayar merupakan perbuatan yang salah?”

Sebagian besar dari kita mungkin secara jelas dan meyakikan dapat langsung menjawab bahwa kegiatan tersebut salah karena illegal download merupakan perbuatan yang melanggar hukum. Namun, jawaban dari pertanyaan dalam kacamata ekonomi adalah “belum tentu”.

KOK BISAA??!

Mungkin itu yang akan langsung terbersit di benak anda setelah membaca paragraf di atas. Ya, ternyata memang bisa, setidaknya apabila dilihat dari sudut pandang ilmu ekonomi. Di dalam ilmu ekonomi ada hukum supply vs demand yang kira-kira menyatakan bahwa: Semakin banyak permintaan akan suatu barang, maka harga akan naik. Sebaliknya semakin banyak barang yang ditawarkan/diproduksi maka harga akan semakin murah.

Apabila kita amati kondisi dunia musik saat ini, tiap hari bermunculan musisi-musisi baru. Lagu-lagu dan grup-grup musik bermunculan, baik yang mempunyai kualitas musikal, maupun yang “pas-pasan” saja. Dunia musik yang gemerlap rupanya menjadi daya tarik bagi banyak orang untuk mencoba peruntungannya menjadi “artis”, namun sayangnya hanya sedikit yang motivasinya murni untuk menjadi pemusik.

Penambahan dari segi jumlah ini rupanya tidak sebanding dengan daya serap masyarakat. Menurut hukum supply-demand penambahan penawaran suatu produk akan berdampak pada turunnya harga equilibrium, yaitu harga optimal konsumen rela membayar untuk suatu produk. Produk dalam kasus ini berupa lagu.

Banyaknya lagu yang beredar di pasaran membuat nilai lagu secara umum menjadi kehilangan harga di mata masyarakat. Celakanya, saking banyaknya lagu yang beredar di pasaran, titik ini hampir (atau sudah) mencapai titik 0, di mana lagu sudah tidak memiliki nilai finansial di mata masyarakat. Artinya, nilai optimum yang rela dikeluarkan oleh seseorang untuk membeli lagu (secara online) adalah Rp. 0.-!!

Nilai suatu produk juga sangat erat hubungannya dengan kualitas yang terdapat pada produk tersebut. Apabila hukum supply-demand menunjukkan pengaruh kuantitas suatu produk terhadap harga produk tersebut, maka definisi profit atau keuntungan finansial dalam ilmu ekonomi, dapat menunjukan hubungan kualitas terhadap harga.

Dalam ilmu ekonomi, profit atau laba diartikan sebagai sinyal bagi produsen bahwa masyarakat menghargai tinggi produk yang diproduksi atau ditawarkan (Baye, 2010). Dapat kita ambil kesimpulan bahwa, masyarakat akan memberikan value kepada produsen, apabila produk yang ditawarkan memiliki value yang dihargai tinggi oleh masyarakat. Sebaliknya apabila produk tersebut tidak memiliki nilai yang dihargai tinggi oleh masyarakat, maka masyarakat akan enggan untuk mengeluarkan uang untuk mendapatkan produk tersebut.

Kenapa masyarakat gak mau bayar untuk men-download lagu?

Jika merujuk pada teori di atas, perilaku masyarakat yang mengunduh lagu tanpa membayar mengindikasikan bahwa masyarakat menilai bahwa produk tidak memiliki harga bagi mereka. Hal tersebut erat kaitannya dengan kualitas suatu produk. Apabila produk berkualitas tinggi, saya rasa masyarakat tidak akan keberatan membayar sejumlah harga untuk mendapatkan produk tersebut. Ini juga sesuai dengan sifat ekonomi manusia yaitu mendapatkan barang sebanyak-banyaknya dengan harga serendah-rendahnya.

Kualitas suatu lagu sangat sulit diukur. Tidak ada benchmark yang jelas antara lagu berkualitas dan tidak berkualitas. Namun dari fenomena banyaknya download lagu tanpa bayar, seharusnya menjadi sinyal bagi para musisi bahwa kualitas kebanyakan lagu yang beredar tidak lagi memiliki harga bagi konsumen. Kualitas musisi karbitan dan banyaknya plagiarisme oleh musisi-musisi yang tak bertanggung jawab, menambah skeptisme masyarakat bahwa lagu tidak layak dibayar untuk diunduh. Apabila kualitas lagu memang rendah, maka wajar apa bila masyarakat menghargai lagu-lagu di pasaran dengan harga Rp. 0.-. Mereka tidak rela mengeluarkan uang untuk mengunduh sebuah lagu. Apabila lagu dengan kualitas rendah dijual kepada masyarakat, maka sesungguhnya pihak produsenlah yang telah men-zalimi pembelinya.

Kualitas menjadi kata kunci pada situasi ini. Industri musik harus menghasilkan musik yang berkualitas agar masyarakat rela mengeluarkan nilai untuk mendapatkannya. Industri musik juga harus mengedukasi konsumennya agar dapat membedakan antara musik yang baik dengan musik yang “asal jadi”. Hal ini mungkin tidak mudah untuk dilakukan, namun penting sekali untuk menjamin sustainability dan profitability suatu industri.

Sebagai penutup, sekali lagi saya mengingatkan bahwa saya tidak mendukung illegal downloading untuk tujuan komersial (piracy), tetapi apabila untuk konsumsi pribadi, menurut saya masih OK. Sebagai musisi, sebaiknya kita tidak menyalahkan pendengar dan masyarakat apabila mereka tidak mau membayar untuk lagu yang tidak memiliki bentuk fisik, namun kita harus bertanya kepada diri kita sendiri,

Sudahkah kita membuat musik dan lagu yang berkualitas baik?

The night before Jakarta election…

Jakarta at Dusk

Will lights shine on Jakarta?

10 Juli 2012..

Mungkin 10 tahun lagi sebagian besar dari kita ga akan inget apa yang terjadi pada hari ini. Memang sih, tidak ada kejadian yang spesial yang terjadi pada hari ini (setidaknya untuk saya). Namun, sebenarnya tanggal 10 Juli 2012 merupakan malam yang cukup spesial. Malam ini adalah malam sebelum Pemilihan Kepala Daerah (Pemilu Kada) DKI Jakarta yang akan menentukan Gubernur dan Wakil Gubernur yang akan memimpin Ibukota kita tercinta selama 5 tahun ke depan.

Selama 2 minggu terakhir, warga Jakarta telah dijejali kampanye dari para Cagub dan Cawagub Jakarta menggunakan berbagai macam media. Ada yang nempel poster, ada yang masang spanduk, sampe ada yang ngiklan di bioskop. Ada yang berkumis, ada yang pake batik, ada yang pake corak kotak-kotak, dan lain sebagainya. Saya ga akan bahas satu persatu Cagub dan Cawagub yang maju karena mungkin hanya akan nambah pusing temen-temen semua.

Tetapi saya perlu (dan merasa berkewajiban) untuk menuangkan apresiasi saya kepada salah satu cagub yaitu FAISAL BASRI.

Kenapa? Soalnya sebagai seseorang yang sudah sangat apatis dengan kondisi politik di Indonesia, dengan segala tipu daya dan kebohongannya, majunya Faisal Basri dari jalur independen menjadi alternatif yang sangat dibutuhkan rakyat Indonesia. Ibaratnya bagai setetes air dingin di padang pasir, padang pasir politik Indonesia.

Majunya Bang Faisal bagai mengatakan kepada pemilih bahwa ada pilihan lain di luar calon-calon yang “dipilihin” sama parpol-parpol. Bagai menyatakan bahwa kami sebagai rakyat sudah muak dibodoh-bodohi oleh parpol dan segala antek-anteknya. Bagai menyatakan bahwa masyarakat dapat mengaspirasikan pendapatnya secara mandiri tanpa parpol sebagai mediatornya.

Saya pribadi tidak dapat memilih esok hari karena KTP saya bukan DKI Jakarta, walau hampir setiap hari beraktifitas di Jakarta. Saya hanya dapat menuliskan tulisan ini sebagai bentuk dukungan kepada Bang Faisal.

Semoga tanggal 10 Juli 2012 akan dikenang sebagai Malam sebelum Rakyat Jakarta Bebas dari Cengkraman Partai Politik.

Maher Muhamad

Daya Saing sebagai Penggerak Pertumbuhan Ekonomi

 

 

Pertumbuhan Ekonomi yang Semu

Pada tahun 2011, resesi ekonomi dunia malah membawa berkah bagi Indonesia. Gejolak perekonomian yang menimpa Amerika Serikat dan Uni Eropa membuat para investor mencari alternatif investari untuk menanamkan modal mereka. Seperti mendapatkan durian jatuh, Indonesia menjadi alternatif yang menarik karena situasi ekonomi makro di dalam negeri cenderung lebih stabil dibandingkan pasar global. Aliran modal yang masuk ke dalam negeri memicu pertumbuhan industri dan ekonomi secara umum. Di tengah-tengah kondisi ekonomi global yang bergejolak, perekonomian Indonesia menjadi salah satu yang terbaik di dunia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6,5%, dua kali lipat pertumbuhan ekonomi global yang hanya 3,2%. Konsumsi domestik menopang perekonomian Indonesia. Pasar dalam negeri yang besar menjadi penggerak perekonomian sehingga dampak resesi ekonomi global tidak terlalu terasa di Indonesia. Situasi yang sangat berbeda dialami oleh negara-negara yang mengandalkan pasar internasional untuk menopang perekonomiannya, seperti China dan Amerika Serikat yang harus merevisi perkiraan pertumbuhan perekonomiannya.

Hal tersebut tentu merupakan sesuatu yang positif bagi Indonesia. Ditambah lagi dengan dinaikkannya peringkat utang Indonesia sehingga masuk ke dalam kategori investasi. Namun, walaupun Indonesia telah mencapai prestasi yang membanggakan dari segi pertumbuhan ekonomi, tidak demikian apabila ditinjau dari perspektif daya saing. Berdasarkan Global Competitiveness Report 2010-2011, Indonesia berada di urutan ke-44 dari 139 negara dalam urusan daya saing, di bawah Malaysia, Thailand, dan Brunei Darussalam yang masing-masing berada di posisi 26, 28, dan 38. Laporan tersebut disusun berdasarkan kondisi faktor-faktor penunjang daya saing tiap-tiap negara, seperti infrastuktur, pendidikan, dan kondisi politik. Semakin baik faktor-faktor tersebut, maka daya saing akan semakin baik pula. Pada tahap perkembangan, Indonesia saat ini berada di tahap transisi dari factor driven menuju eficiency driven. Pertumbuhan perekonomian Indonesia lebih disebabkan oleh keterpurukan finansial negara-negara lain, sehingga Indonesia menjadi alternatif investasi, bukan merupakan konsekuensi dari daya saing dalam negeri yang meningkat.

Michael Porter dan Daya Saing Negara

Berbicara mengenai daya saing, di dunia ini tidak ada orang lain yang lebih pantas dijadikan rujukan selain Michael Porter. Michael Eugene Porter merupakan seorang profesor dari Harvard Business School yang memiliki spesialisasi di dalam bidang competitiveness, pada skala bisnis maupun negara. Bertindak sebagai pembicara utama pada Global Competitiveness Forum 2011 di Riyadh, Arab Saudi, Michael Porter mengemukakan bahwa daya saing merupakan fungsi dari produktifitas suatu negara. Semakin tinggi produktifitas suatu negara, maka meningkat pula daya saing negara tersebut. Produktifitas yang tinggi akan menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan standar hidup, dan kesejahteraan masyarakat di suatu negara. Untuk membangun daya saing yang nasional yang tinggi, suatu negara harus membangun pondasi yang terdiri dari tiga lapisan yaitu, potensi alamiah (endowment), daya saing ekonomi makro, dan daya saing ekonomi mikro.

Michael Porter

Michael Porter of Harvard Business School

Menurut Porter, untuk menjadi negara berdaya saing tinggi, ketiga lapisan tersebut harus saling mendukung satu sama lain. Lapisan pertama adalahendowment atau potensi alamiah. Potensi alamiah adalah sesuatu yang diwariskan atau sudah dimiliki oleh suatu negara secara alamiah. Potensi tersebut dapat berupa sumber daya alam, cuaca dan iklim yang mendukung, lokasi geografis, ketersediaan sumber energi terbarukan, dan lain sebagainya. Dengan hanya mengandalkan potensi alamiah, suatu negara sudah dapat memiliki daya saing yang tinggi dan menghasilkan kesejahteraan bagi rakyatnya. Karakteristik ini terlihat di negara-negara Timur Tengah yang memiliki cadangan minyak bumi yang melimpah sebagai sumber perekonomiannya. Indonesia juga termasuk ke dalam kategori negara yang memanfaatkan potensi alamiah sebagai sumber kemakmuran. Hal tersebut dimungkinkan karena negara kita memang kaya akan mineral dan sumber daya alam lainnya.

Untuk mendukung potensi alamiah, dibutuhkan lapisan pondasi kedua yaitu kondisi ekonomi makro yang kondusif. Perekonomian makro mencakup perkembangan sumber daya manusia, layanan kesehatan, sistem pendidikan yang baik, sarana dan infrastuktur, institusi pemerintahan yang sehat, situasi politik yang kondusif, serta kepastian hukum. Hal-hal tersebut menjadi faktor vital untuk mendukung potensi dan sumber daya alam suatu negara agar dapat dikelola dengan optimal. Pemerintah menjadi aktor utama pada lapisan kedua ini. Melalui kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan, pemerintah dapat mempengaruhi kondisi perekonomian makro di negara tersebut. Perekonomian makro yang sehat merupakan daya tarik bagi investor untuk menanamkan modalnya di suatu negara. Aliran modal dari dalam dan luar negeri akan memicu pertumbuhan industri, membuka lapangan pekerjaan, dan meningkatkan pendapatan negara.

Lapisan yang ketiga adalah daya saing ekonomi mikro yang mencakup kondisi persaingan di skala industri. Perusahaan-perusahaan yang bersaing dengan sehat merupakan fokus utama dari perekonomian mikro. Persaingan antar perusahaan menjadi penggerak untuk meningkatkan daya saing. Persaingan yang sehat akan “memaksa” perusahaan untuk beroperasi secara efisien dan efektif, yang secara langsung akan meningkatkan produktifitas. Peran pemerintah adalah memastikan persaingan di pasar terjaga agar tetap adil dan sehat, serta memastikan bahwa semua pihak memiliki kesempatan yang sama. Kebijakan pemerintah penting untuk memastikan tidak ada praktek-praktek yang akan mencederai semangat persaingan sehat seperti monopoli atau kartel. Selain itu, Porter juga menekankan bahwa untuk berkembang pesat, perusahaan membutuhkan perusahaan-perusahaan saingan di industri sejenis dalam sebuah klaster. Pembentukkan klaster (cluster) industri yang terdiri dari beberapa perusahaan di industri yang sama akan memicu perkembangan positif bagi industri dan masing-masing perusahaan. Dengan membentuk klaster, akselerasi inovasi akan terjadi karena adanya interaksi dari masing-masing perusahaan ataupun individu-individu yang bergerak di industri yang sama. Contoh dari klaster industri adalah Silicon Valley di Amerika Serikat yang merupakan pusat teknologi elektronik dunia dan markas perusahaan-perusahaan elektronik besar seperti Apple, Google, Intel, IBM, dan Hewlett-Packard atau Wallstreet di New York yang merupakan pusat finansial Amerika Serikat. Klaster-klaster industri tersebut akan memiliki keunikan masing-masing dan membawa pengaruh ke lingkungannya. Sekolah-sekolah dan universitas-universitas akan menghasilkan lulusan yang berkualitas untuk menjadi tenaga kerja di industri tersebut, bisnis-bisnis baru di sektor hulu maupun hilir akan bermunculan, dan lembaga-lembaga penelitian akan terpacu untuk menghasilkan temuan-temuan baru.

Solusi bagi Indonesia

Pemikiran Michael Porter dapat menjadi solusi bagi permasalahan ekonomi dan perindustrian di Indonesia. Indonesia memiliki segalanya untuk menjadi negara maju. Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah, lokasi yang strategis, serta iklim dan cuaca yang bersahabat. Jumlah penduduk yang mencapai 230 juta jiwa merupakan modal besar dalam bentuk ketersediaan tenaga kerja maupun pasar. Kondisi ekonomi makro Indonesia cenderung stabil. Klaster-klaster industri sudah terbentuk secara alamiah di Indonesia. Bisnis finansial di Jakarta, pariwisata di Bali, pendidikan di Yogyakarta, wisata belanja dan kuliner di Bandung, industri kerajinan jati di Jepara, industri kelapa sawit di Kalimantan, kerajinan batik di Pekalongan dan Solo, dan banyak lainnya. Klaster-klaster tersebut pada umumnya terbentuk secara informal yang berawal dari sektor UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) dan tidak terinstitusi dengan baik.

Namun potensi alamiah dan jumlah penduduk yang besar saja tidak cukup bagi Indonesia untuk dikategorikan sebagai negara yang berdaya saing tinggi. Kesejahteraan berbasis potensi ilmiah cenderung tidak dapat menopang kebutuhan perekonomian negara secara berkelanjutan. Contoh dari kasus ini adalah Provinsi Bangka Belitung yang sempat jaya dengan hasil timahnya, namun terpuruk begitu tidak ada lagi timah yang dapat ditambang. Saat ini, jumlah penduduk yang besar lebih merupakan beban daripada aset bagi negara. Hal tersebut terlihat dari paniknya pemerintah menghadapi laju pertumbuhan penduduk dengan gencarnya mengkampanyekan program Keluarga Berencana (KB). Indonesia adalah memerlukan lapisan kedua yang kuat, kondisi ekonomi makro yang sehat, untuk meningkatkan produktifitas dan daya saing nasional. Pemerintahan dan proses penetapan kebijakan yang memiliki integritas, merupakan syarat untuk menciptakan perekonomian makro yang kuat. Pemerintah sebagai regulator harus memfokuskan kebijakan ke arah pembangunan ekonomi nasional. Ketidakselarasan kebijakan antar lapisan pertama, kedua, dan ketiga menyebabkan pembangunan ekonomi Indonesia tidak optimal.

Kebijakan ekonomi makro idealnya menjadi pondasi bagi kebijakan-kebijakan daerah dalam mengelola kegiatan bisnis. Kekhususan dan keunikan daerah harus diakui dan didorong untuk muncul dan berkembang. Selain itu, kebijakan ekonomi makro memiliki peran untuk melakukan koordinasi terhadap klaster-klaster industri tanpa membatasi peluang bersaing. Dengan demikian, klaster-klaster bisnis akan terbentuk secara dengan optimal. Daerah dapat dikembangkan sesuai kekhususan dan kelebihannya masing-masing. Infrastuktur daerah, pemerintahan, dan pendidikan akan terpengaruh oleh klaster dan memiliki kekhususan masing-masing. Contohnya, universitas dan lembaga pendidikan di Bali memiliki fokus lebih ke bidang pariwisata dan menjadi pusat pendidikan pariwisata di Indonesia. Dengan mendorong daerah untuk memiliki keunggulan di salah satu bidang, masing-masing daerah akan memiliki daya saing yang unik dan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Peluang bisnis akan terbuka untuk menciptakan produk atau jasa yang mendukung klaster utama di daerah.

Sayangnya, dalam pembentukkan kebijakan ekonomi makro, elite politik di negeri ini belum memiliki semangat yang sama. Kepentingan partai dan kelompok masih mendominasi proses pembuatan dan penerapan kebijakan ekonomi makro. Para Kepala Daerah merasa menjadi raja di daerahnya masing-masing dan menyebabkan koordinasi dengan pemerintah pusat tidak berjalan sebagai mana mestinya. Gagalnya sistem ekonomi makro dan mikro di Indonesia juga terlihat dari masih dikuasainya sektor-sektor strategis oleh sebagian orang yang memiliki kekuasaan dan harta. Sistem oligopolistik, kalau bukan monopolistik, seringkali didukung oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang membatasi persaingan usaha di sektor-sektoer tertentu. Apabila para elite politik Indonesia mengesampingkan kepentingannya masing-masing dan memfokuskan diri untuk membentuk kebijakan ekonomi makro yang mendukung lapisan pertama dan ketiga, maka daya saing Indonesia akan meningkat pesat. Pertumbuhan ekonomi yang berbasis daya saing akan memicu pertumbuhan yang absolut dan berkelanjutan bagi Indonesia. Dengan demikian, Indonesia akan mampu menjadi negara tujuan investasi yang menarik bagi investor-investor global karena daya saing dan produktifitas, bukan sekedar aji mumpung.

First post.. Ever!

Akhirnya setelah sekian lama disarankan untuk buat blog oleh teman-teman, lahir juga blog ini. Awalnya cuma iseng-iseng karena hari ini ga ada kerjaan. Ternyata ada pilihan untuk membuat web mahermuhamad.com. Saya pikir, why not, kali-kali bisa jadi investasi buat masa depan, hehee