Daya Saing sebagai Penggerak Pertumbuhan Ekonomi

 

 

Pertumbuhan Ekonomi yang Semu

Pada tahun 2011, resesi ekonomi dunia malah membawa berkah bagi Indonesia. Gejolak perekonomian yang menimpa Amerika Serikat dan Uni Eropa membuat para investor mencari alternatif investari untuk menanamkan modal mereka. Seperti mendapatkan durian jatuh, Indonesia menjadi alternatif yang menarik karena situasi ekonomi makro di dalam negeri cenderung lebih stabil dibandingkan pasar global. Aliran modal yang masuk ke dalam negeri memicu pertumbuhan industri dan ekonomi secara umum. Di tengah-tengah kondisi ekonomi global yang bergejolak, perekonomian Indonesia menjadi salah satu yang terbaik di dunia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6,5%, dua kali lipat pertumbuhan ekonomi global yang hanya 3,2%. Konsumsi domestik menopang perekonomian Indonesia. Pasar dalam negeri yang besar menjadi penggerak perekonomian sehingga dampak resesi ekonomi global tidak terlalu terasa di Indonesia. Situasi yang sangat berbeda dialami oleh negara-negara yang mengandalkan pasar internasional untuk menopang perekonomiannya, seperti China dan Amerika Serikat yang harus merevisi perkiraan pertumbuhan perekonomiannya.

Hal tersebut tentu merupakan sesuatu yang positif bagi Indonesia. Ditambah lagi dengan dinaikkannya peringkat utang Indonesia sehingga masuk ke dalam kategori investasi. Namun, walaupun Indonesia telah mencapai prestasi yang membanggakan dari segi pertumbuhan ekonomi, tidak demikian apabila ditinjau dari perspektif daya saing. Berdasarkan Global Competitiveness Report 2010-2011, Indonesia berada di urutan ke-44 dari 139 negara dalam urusan daya saing, di bawah Malaysia, Thailand, dan Brunei Darussalam yang masing-masing berada di posisi 26, 28, dan 38. Laporan tersebut disusun berdasarkan kondisi faktor-faktor penunjang daya saing tiap-tiap negara, seperti infrastuktur, pendidikan, dan kondisi politik. Semakin baik faktor-faktor tersebut, maka daya saing akan semakin baik pula. Pada tahap perkembangan, Indonesia saat ini berada di tahap transisi dari factor driven menuju eficiency driven. Pertumbuhan perekonomian Indonesia lebih disebabkan oleh keterpurukan finansial negara-negara lain, sehingga Indonesia menjadi alternatif investasi, bukan merupakan konsekuensi dari daya saing dalam negeri yang meningkat.

Michael Porter dan Daya Saing Negara

Berbicara mengenai daya saing, di dunia ini tidak ada orang lain yang lebih pantas dijadikan rujukan selain Michael Porter. Michael Eugene Porter merupakan seorang profesor dari Harvard Business School yang memiliki spesialisasi di dalam bidang competitiveness, pada skala bisnis maupun negara. Bertindak sebagai pembicara utama pada Global Competitiveness Forum 2011 di Riyadh, Arab Saudi, Michael Porter mengemukakan bahwa daya saing merupakan fungsi dari produktifitas suatu negara. Semakin tinggi produktifitas suatu negara, maka meningkat pula daya saing negara tersebut. Produktifitas yang tinggi akan menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan standar hidup, dan kesejahteraan masyarakat di suatu negara. Untuk membangun daya saing yang nasional yang tinggi, suatu negara harus membangun pondasi yang terdiri dari tiga lapisan yaitu, potensi alamiah (endowment), daya saing ekonomi makro, dan daya saing ekonomi mikro.

Michael Porter

Michael Porter of Harvard Business School

Menurut Porter, untuk menjadi negara berdaya saing tinggi, ketiga lapisan tersebut harus saling mendukung satu sama lain. Lapisan pertama adalahendowment atau potensi alamiah. Potensi alamiah adalah sesuatu yang diwariskan atau sudah dimiliki oleh suatu negara secara alamiah. Potensi tersebut dapat berupa sumber daya alam, cuaca dan iklim yang mendukung, lokasi geografis, ketersediaan sumber energi terbarukan, dan lain sebagainya. Dengan hanya mengandalkan potensi alamiah, suatu negara sudah dapat memiliki daya saing yang tinggi dan menghasilkan kesejahteraan bagi rakyatnya. Karakteristik ini terlihat di negara-negara Timur Tengah yang memiliki cadangan minyak bumi yang melimpah sebagai sumber perekonomiannya. Indonesia juga termasuk ke dalam kategori negara yang memanfaatkan potensi alamiah sebagai sumber kemakmuran. Hal tersebut dimungkinkan karena negara kita memang kaya akan mineral dan sumber daya alam lainnya.

Untuk mendukung potensi alamiah, dibutuhkan lapisan pondasi kedua yaitu kondisi ekonomi makro yang kondusif. Perekonomian makro mencakup perkembangan sumber daya manusia, layanan kesehatan, sistem pendidikan yang baik, sarana dan infrastuktur, institusi pemerintahan yang sehat, situasi politik yang kondusif, serta kepastian hukum. Hal-hal tersebut menjadi faktor vital untuk mendukung potensi dan sumber daya alam suatu negara agar dapat dikelola dengan optimal. Pemerintah menjadi aktor utama pada lapisan kedua ini. Melalui kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan, pemerintah dapat mempengaruhi kondisi perekonomian makro di negara tersebut. Perekonomian makro yang sehat merupakan daya tarik bagi investor untuk menanamkan modalnya di suatu negara. Aliran modal dari dalam dan luar negeri akan memicu pertumbuhan industri, membuka lapangan pekerjaan, dan meningkatkan pendapatan negara.

Lapisan yang ketiga adalah daya saing ekonomi mikro yang mencakup kondisi persaingan di skala industri. Perusahaan-perusahaan yang bersaing dengan sehat merupakan fokus utama dari perekonomian mikro. Persaingan antar perusahaan menjadi penggerak untuk meningkatkan daya saing. Persaingan yang sehat akan “memaksa” perusahaan untuk beroperasi secara efisien dan efektif, yang secara langsung akan meningkatkan produktifitas. Peran pemerintah adalah memastikan persaingan di pasar terjaga agar tetap adil dan sehat, serta memastikan bahwa semua pihak memiliki kesempatan yang sama. Kebijakan pemerintah penting untuk memastikan tidak ada praktek-praktek yang akan mencederai semangat persaingan sehat seperti monopoli atau kartel. Selain itu, Porter juga menekankan bahwa untuk berkembang pesat, perusahaan membutuhkan perusahaan-perusahaan saingan di industri sejenis dalam sebuah klaster. Pembentukkan klaster (cluster) industri yang terdiri dari beberapa perusahaan di industri yang sama akan memicu perkembangan positif bagi industri dan masing-masing perusahaan. Dengan membentuk klaster, akselerasi inovasi akan terjadi karena adanya interaksi dari masing-masing perusahaan ataupun individu-individu yang bergerak di industri yang sama. Contoh dari klaster industri adalah Silicon Valley di Amerika Serikat yang merupakan pusat teknologi elektronik dunia dan markas perusahaan-perusahaan elektronik besar seperti Apple, Google, Intel, IBM, dan Hewlett-Packard atau Wallstreet di New York yang merupakan pusat finansial Amerika Serikat. Klaster-klaster industri tersebut akan memiliki keunikan masing-masing dan membawa pengaruh ke lingkungannya. Sekolah-sekolah dan universitas-universitas akan menghasilkan lulusan yang berkualitas untuk menjadi tenaga kerja di industri tersebut, bisnis-bisnis baru di sektor hulu maupun hilir akan bermunculan, dan lembaga-lembaga penelitian akan terpacu untuk menghasilkan temuan-temuan baru.

Solusi bagi Indonesia

Pemikiran Michael Porter dapat menjadi solusi bagi permasalahan ekonomi dan perindustrian di Indonesia. Indonesia memiliki segalanya untuk menjadi negara maju. Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah, lokasi yang strategis, serta iklim dan cuaca yang bersahabat. Jumlah penduduk yang mencapai 230 juta jiwa merupakan modal besar dalam bentuk ketersediaan tenaga kerja maupun pasar. Kondisi ekonomi makro Indonesia cenderung stabil. Klaster-klaster industri sudah terbentuk secara alamiah di Indonesia. Bisnis finansial di Jakarta, pariwisata di Bali, pendidikan di Yogyakarta, wisata belanja dan kuliner di Bandung, industri kerajinan jati di Jepara, industri kelapa sawit di Kalimantan, kerajinan batik di Pekalongan dan Solo, dan banyak lainnya. Klaster-klaster tersebut pada umumnya terbentuk secara informal yang berawal dari sektor UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) dan tidak terinstitusi dengan baik.

Namun potensi alamiah dan jumlah penduduk yang besar saja tidak cukup bagi Indonesia untuk dikategorikan sebagai negara yang berdaya saing tinggi. Kesejahteraan berbasis potensi ilmiah cenderung tidak dapat menopang kebutuhan perekonomian negara secara berkelanjutan. Contoh dari kasus ini adalah Provinsi Bangka Belitung yang sempat jaya dengan hasil timahnya, namun terpuruk begitu tidak ada lagi timah yang dapat ditambang. Saat ini, jumlah penduduk yang besar lebih merupakan beban daripada aset bagi negara. Hal tersebut terlihat dari paniknya pemerintah menghadapi laju pertumbuhan penduduk dengan gencarnya mengkampanyekan program Keluarga Berencana (KB). Indonesia adalah memerlukan lapisan kedua yang kuat, kondisi ekonomi makro yang sehat, untuk meningkatkan produktifitas dan daya saing nasional. Pemerintahan dan proses penetapan kebijakan yang memiliki integritas, merupakan syarat untuk menciptakan perekonomian makro yang kuat. Pemerintah sebagai regulator harus memfokuskan kebijakan ke arah pembangunan ekonomi nasional. Ketidakselarasan kebijakan antar lapisan pertama, kedua, dan ketiga menyebabkan pembangunan ekonomi Indonesia tidak optimal.

Kebijakan ekonomi makro idealnya menjadi pondasi bagi kebijakan-kebijakan daerah dalam mengelola kegiatan bisnis. Kekhususan dan keunikan daerah harus diakui dan didorong untuk muncul dan berkembang. Selain itu, kebijakan ekonomi makro memiliki peran untuk melakukan koordinasi terhadap klaster-klaster industri tanpa membatasi peluang bersaing. Dengan demikian, klaster-klaster bisnis akan terbentuk secara dengan optimal. Daerah dapat dikembangkan sesuai kekhususan dan kelebihannya masing-masing. Infrastuktur daerah, pemerintahan, dan pendidikan akan terpengaruh oleh klaster dan memiliki kekhususan masing-masing. Contohnya, universitas dan lembaga pendidikan di Bali memiliki fokus lebih ke bidang pariwisata dan menjadi pusat pendidikan pariwisata di Indonesia. Dengan mendorong daerah untuk memiliki keunggulan di salah satu bidang, masing-masing daerah akan memiliki daya saing yang unik dan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Peluang bisnis akan terbuka untuk menciptakan produk atau jasa yang mendukung klaster utama di daerah.

Sayangnya, dalam pembentukkan kebijakan ekonomi makro, elite politik di negeri ini belum memiliki semangat yang sama. Kepentingan partai dan kelompok masih mendominasi proses pembuatan dan penerapan kebijakan ekonomi makro. Para Kepala Daerah merasa menjadi raja di daerahnya masing-masing dan menyebabkan koordinasi dengan pemerintah pusat tidak berjalan sebagai mana mestinya. Gagalnya sistem ekonomi makro dan mikro di Indonesia juga terlihat dari masih dikuasainya sektor-sektor strategis oleh sebagian orang yang memiliki kekuasaan dan harta. Sistem oligopolistik, kalau bukan monopolistik, seringkali didukung oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang membatasi persaingan usaha di sektor-sektoer tertentu. Apabila para elite politik Indonesia mengesampingkan kepentingannya masing-masing dan memfokuskan diri untuk membentuk kebijakan ekonomi makro yang mendukung lapisan pertama dan ketiga, maka daya saing Indonesia akan meningkat pesat. Pertumbuhan ekonomi yang berbasis daya saing akan memicu pertumbuhan yang absolut dan berkelanjutan bagi Indonesia. Dengan demikian, Indonesia akan mampu menjadi negara tujuan investasi yang menarik bagi investor-investor global karena daya saing dan produktifitas, bukan sekedar aji mumpung.

Leave a comment